Kamis, 03 April 2014

Berkunjung Ke Semarang - Jawa Tengah


Semarang sebagai Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah dapat dijangkau melewati berbagai moda transportasi. Lewat laut, merapat di Tanjung Emas. Lewat jalan darat, masuk terminal bus antara kota atau dapat berhenti di beberapa sub terminal untuk berganti dengan bus kota atau jenis angkutan kota yang lain. Lewat angkutan Kereta Api, dapat turun di stasiun Semarang Tawang dan kalau naik pesawat udara maka akan mendarat di Bandara Ahmad Yani.

Kali ini saya mendarat di Bandara A Yani Semarang dengan menggunakan pesawat Air Asia dari Bandara Juanda. Waktu tempuh antara Bandara Juanda sampai Bandara A Yani tidak sesuai dengan waktu yang saya habiskan untuk prosedur mulai parkir motor, masuk bandara sampai melangkah boarding.  


Bandara A Yani bukan bandara yang besar, namun untuk pesawat jenis Air Bus yang digunakan oleh AA dapat mendarat tanpa harus menekan rem kuat-kuat. Sehingga tidak membuat penumpang harus menekan kursi yang ada didepannya supaya tidak terantuk, seperti kalau pesawat Lion Air mendarat di bandara Supadio Pontianak. Bandara A Yani merupakan bandara militer milik Angkatan Darat, hal tersebut dapat dilihat ada beberapa helikopter ABRI yang parkir dilandasan. Diruang Kedatangan Penumpang Domestik  yang juga relatif sempit ada loket untuk membeli tiket taxi bandara. Tarip taxi dari Bandara A Yani ke Gedung Lawang Sewu Rp. 40.000,-, tidak ada moda transportasi lain yang lebih murah untuk keluar dari Bandara A Yani.
Gedung Lawang Sewu merupakan gedung milik PT KAI yang saat ini digunakan untuk museum, terletak di area Tugu Muda yang konon dahulu disebut Wilhelminaplein, pusat kota Semarang.


Lawang Sewu merpakan bangunan bersejarah yang dibangun oleh pemerintahan Belanda, tanggal 27 Februari 1904. Bangunan ini didirikan untuk digunakan sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlansch Indische Spoorweg Maatscappij yang pada jamannya dikenal sebagai NIS.
Sehingga Lawang Sewu yang saat ini menjadi museum milik PT KAI yang urutan sejarahnya merupakan kantor pusat kereta api di Semarang, kemudian pernah menjadi Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer  Kodam IV Diponegoro  dan Kantor Wilayah Kementerian Perhubungan Jawa Tengah.
Saat terjadinya peristiwa Pertempuran lima hari antara tanggal 14 Oktober sampai 19 Oktober 1945, Lawang Sewu menjadi lokasi pertempuran antara pemuda Angkatan Muda Kereta Api ( AMKA ) melawan Jepang. Maka dengan Surat Keputusan Wali Kota Nomor. 650/50/1992, Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan kuno bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi
Museum dibuka mulai jam 07.00 dan ditutup jam 21.00. Harga tiket masuk untuk Dewasa Rp. 10.000,- untuk Anak dan Pelajar Rp. 5000,- . 



Namun tarip sebesar itu hanya untuk kunjungan bangunan yang ada ditas tanah, sebab ada yang dinamakan wisata bawah tanah. Tarip yng dipungut tidak ada buktinya, cuma dicatat oleh petugas yang ada. 


Tarip itu merupakan tarip untuk sewa sepatu boot, sewa lampu sorot dan honorarium petugas pendamping yang akan menuntun kita dan bercerita kalau kita tanya. 


Pengunjung wisata bawah tanah harus mengenakan sepatu boot karet karena ruangannya terendam air, menggunakan lampu karena sangat gelap dan harus ada pendamping supaya tidak tersesat.


 Arsitektur bawah tanah gedung Lawang Sewu yang terdiri dari kolam-kolam air sebenarnya digunakan untuk mendinginkan ruang-ruang kantor yang ada diatasnya.
Namun menjadi menarik, karena saat pendudukan Jepang, ruang ini digunakan untuk penyiksaan pejuang-pejuang kemerdekaan RI. Akibatnya saat ini beredar rumor, Lawang Sewu juga disebut sebagai rumah setan.

Ikon yang lain dari Kota Semarang adalah Gereja mBlenduk yang berada di Semarang kota lama. 


  
Untuk menuju lokasi ini dari Lawang Sewu jalan kaki ke Halte Bus Trans Semarang Koridor 2 di Jl. Pemuda depan SMA 5  yang berada disamping Gedung Lawang Sewu dan turun di Halte Stasiun Tawang. 
Dari Halte Bus menyeberangi jalan, menyusuri jalan kecil ditepi kolam yang luas akhirnya akan bertemu dengan bangunan lama ini yang berdiri megah di Jl. Letjend. Suprapto 32. Karena merupakan tempat ibadah yang tertutup, maka saya tidak dapat melihat bagaimana arsitektur interior bangunan ini, yang katanya masih menyimpan alat musik tua dan kursi-kursi besi. Menurut literatur maka ikon kota Semarang ini berada di Heerenstraat (jalan Heeren) sebagai Koepelkerk (gereja Koepel) yang dibangun ditahun 1753. 

Koepelkerk ini merupakan gereja tertua di Jawa Tengah dan salah satu yang tertua pula di Pulau Jawa. Perancang awalnya tidak diketahui, namun Koepelkerk ini diperbarui secara drastis oleh arsitek W. Westmaas dan H.P.A. de Wilde pada 1894-1895. Kedua arsitek tersebut  menambahkan bangunan pada akhir abad itu dua buah menara yang sampai saat ini masih berdiri. Saat ini dapat dilihat menjadi  sebuah karya arsitek yang memiliki komposisi seimbang dengan sempurna. Pintu-pintu masuk gereja bergaya klasik dan kubah gereja  yang besar bulat (mblenduk dalam bahasa Jawa)  terbuat dari tembaga. Saat ini Gereja ini digunakan oleh jemat GPIB Immanuel.
Dari sisi manapun kalau berada di Semarang, naik angkutan kota, bus mini atau Trans Semarang koridor 2 turun di Rumah Sakit Dr. Sarjito dipersimpangan jalan yang ada lampu pengatur lalu lintasnya. Kalau dari arah Tugu Muda harus menyeberang jalan menuju jalan yang berada disisi kanan kita ( Jl. Kaligarang).
Naik angkutan kota kecil turun di Jembatan Kali Garang, karena angkutan kota ini tidak menyebarangi jembatan yang melintas diatas sungai besar tersebut. Jalan kaki menyeberangi sungai, diujung jembatan disisi kiri kita akan terlihat bangunan dengan warna dominan merah ada tulisan besar yang dibuat dari logam mengkilat Sam Poo Kong.



Sahibul bercerita kalau pada awal abad ke-15 Laksamana Zheng He sedang berlayar di pantai utara P. Jawa dengan membawa anak buah yang sedang sakit, sampai pada sebuah semenanjung.  Pak Laksamana memberi perintah untuk  mendarat dan menyusuri  sungai yang tadi baru saja kita seberangi,  sungai Kaligarang disebuah desa bernama Simongan. 



 Simongan, ia menemukan sebuah gua batu dan dipergunakan untuk bersembahyang. Pak Zeng He memberi perintah menetap untuk sementara waktu ( waktu itu belum ada Visa atau ijin tinggal, jadi tidak perlu Paspor ). Sedangkan awak kapalnya yang sakit dirawat dan diberi obat dari ramuan dedaunan yang ada didesa Simongan itu.Karena belum ada komputer untuk mencatat, ratusan tahun kemudian, pada bulan Oktober 1724 diadakan upacara yang besar dan pembangunan kuil sebagai rasa terima kasih kepada Sam Po Tay Djien.
Disamping itu, entah dengan hitungan tahun matahari atau tahun bulan, dua puluh tahun sebelumnya  gua batu tempat semedi Sam Po runtuh disambar petir. Dipertengahan kedua abad ke-19, daerah Simongan dikuasai oleh seorang tuan tanah yang tamak. Orang-orang yang hendak berkunjung ke kuil Sam Po Kong diharuskan membayar sejumlah uang yang harganya sangat mahal. Untungnya tahun 1879, kawasan Simongan dibeli oleh Oei Tjie Sien. Oei Tjie Sien merupakan ayah Oei Tiong Ham, yang saat itu dinamakan Raja Goela dari Semarang. Mulai  saat itu, peziarah dapat bersembahyang di Gedong Batu tanpa membeli tiket masuk.
Sedangkan pengurusan bangunan kuil diserahkan kepada Yayasan Sam Poo Kong.Pawai Sam Poo Kong diselenggarakan mulai tahun 1937 sampai sekarang dan terus menjadi daya tarik kota Semarang. Kelihatannya kejadian seperti saat abad ke 19, sekarang ini untuk masuk area Sam Poo Kong harus membayar tiket masuk yang dibedakan antara pengunjung domestik dan pengunjung asing. 
Pengunjung hanya boleh berada disekitar taman besar dan beristirahat dibawah pohon tua. Untuk dapat melihat peninggalan Pak Laksamana dan anak buahnya maka harus membayar lagi dan kali ini cukup besar Rp. 20.000,- Setelah membayar Rp. 20.000,- ini baru kita dapat melihat bangunan yang namanya Gedong Batu, Makam Kyai Tumpeng, kepala Jangkar dan lain sebagainya. Karena ini merupakan area sembahyang, maka untuk setiap masuk ke sebuah bangunan kita harus lepas sepatu. Bila disalah satu bangunan ada yang sembahyang, maka kita tidak di ijinkan untuk naik. Termasuk Gedung Batu dan sebuah Goa bawah tanah, kita tidak bisa masuk kecuali akan melakukan sembahyang.



Dari depan Sam Poo Kong lewat bus mini ( satu-satunya bus mini ), bus mini ini merupakan sarana transportasi dari Sam Poo Kong menuju Museum Ronggowarsita. Pesan saja pada mas kondektur bus kalau kita turun di Museum, dan bus akan berhenti tepat dibelakang pintu masuk museum. Museum Ronggowarsita menurut panduan yang saya dapat merupakan salah satu dari museum Jawa Tengah. Dari brosur yang saya terima, Museum Jawa Tengah Ronggowarsita didirikan oleh Proyek rehabilitasi dan Permuseuman Jawa Tengah di tahun 1975. Diresmikan pertama kali oleh Prof. Dr. Fad Hasan pada tanggal 5 Juli 1989. Nama Ranggawarsita dipakai sebagai nama museum karena merupakan pujangga yang fenomenal di Keraton Surakarta.Tiket masuk dapat dibeli di bangunan luar dekat pintu gerbang, dan harus mengisi buku tamu didalam bangunan museum. Karena di bangunan museum juga ada ruang lain yang digunakan untuk resepsi, maka sebagai pendatang yang bukan warga Semarang dapat dibuat bingung antara masuk ruang museum dan masuk ruang resepsi orang punya hajat. Tas besar harus ditipkan di bagian pencatatan tamu, dilarang membawa makanan dan minuman. Yang membuat saya bangga, banyaknya siswa sekolah yang mengunjungi museum ini. Kelihatannya mereka mengerjakan tugas dari sekolah, sehingga harus berlama-lama didalam museum sam bil mencatat bahkan ada yang tiduran di lantai serta membuat bising. 


Tentu saja ini sangat mengganggu orang seperti saya, yang ingin melihat dan merasakan apa yang ada didalam museum tersebut. Kadang mereka didepan obyek berlama-lama sambil mencatat, sehingga pengunjung lain tidak mendapatkan kesempatan. Beberapa diorama mati atau memang tidak ada isinya, komputer penunjuk wisata tidak di-aktifkan atau rusak saya juga tidak tahu.

 
Penataan benda memang kurang bagus meskipun sudah dikelompokan, kesan saya, ruang museum kurang luas sehingga benda-benda yang ada saling berhimpitan.
Museum yang terletak di Jl. Abdulrahman Saleh 1 Semarang ini berada di jalan lingkar Kalibanteng, sehingga dengan berjalan kaki dapat ditempuh hanya beberapa puluh menit menuju Bandara A Yani. Jalan menuju bandara cukup teduh, kiri kanan jalan ada tanaman pohon. 


Namun kalau sudah lelah karena berjalan naik turun didalam museum, transportasi ke bandara dapat menggunakan transportasi yang tidak ada duanya diseluruh bandara tanah air….naik becak tarif tanpa ditawar Rp.15.000,- dengan isi maksimum 2 orang dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar