Selasa, 05 Februari 2013

Meniti Jembatan diatas River Kwai

Sebuah obyek sejarah di Thailand yang berhubungan dengan jaman penjajahan Jepang di Indonesia. Dimana bangsa Indonesia dijadikan budak jauh dari negaranya untuk membangun rel kereta api yang menghubungkan Thiland dan Birma melewati gunung batu yang keras. Sementara rel dan jembatan yang dipasang juga berasal dari Indonesia. Sayangnya obyek ini tidak pernah ditawarkan oleh penyelenggara tour di Indonesia sebagai tempat yang layak untuk dikunjungi.


THE BRIDGE OVER THE RIVER KWAE
The Bridge over the River Kwae was build during the Great Pasific War when Japan declared war on the United States of America and England, later became a part of World War II . The bridge begun in October, 2485 BE (1942 AD) and completed in October, 2486 BE ( 1943 AD) On 16th September,  2485 BE (1942 AD) the Japanese army sign the contract with the Thai government to built this strategic railway from Thailand to Burma (now Myanmar). 


The railway started from Nongpladuk station about 5 kilometres from Banpong railway station, and it crossed the River Kwae Yai at Ban Thamakham in Muang district of Kanchanaburi province ( In those days the place was called “Ban Tha Maa Kham” meaning “horses Crossing”). The railway was laid northward passing through Kanchanaburi for about 4 kilometers along the River Kwae Yai and at the bridge it made a sharp curve going along with the River Kwae Noi passing through the Thai – Burmese border at the Three Pagodas Pass connecting the Burmese railway at Thanbyuzayat station. The total length of the railway was 415 kilometres : 303,95 kilometers in Thailand and 111,05 in Burmar. The prisoners of war taken from Malaya, Singapore, Indonesia and other countries in the Pasific region were forced to build the railway. They were put on the train in the south and got off at Banpong Station. They had to walk for 51 kilometres to get to Kanchanaburi . 
The prisoners of war comprised British, Australian, Dutch soldiers as well as Malaya, Chinese, Vietnamese, Indian, Burmese, Javanese labourers totaling nearly two hundred thousand. The railway construction was very laborious and difficult as it had to go trough thick jungles and high mountains, and dangerous animals were everywhere. The most difficult part was that they had to build the bridge over the River Kwae. The arduous task continued all days all nights amidst hunger and dangereous disease like malaria. The brutality of the war took over 100.000 lives of prisoners of war and labourers . Hence the railway called “The Death Railway”.  The Japenese army chose to build the bridge at Thamakham because the soil structure was solid and suitable. To speed up the work, the Japanese army built a temporary wooden bridge about 100 metres from the present one to transport construction materials. It took three months to complete.  
The present iron bridge spans were brought from Indonesia. The 300 metres  bridge consisted of 11 iron spans and other parts were made of wood. The total construction time was only 6 months, and the total distance was 415 kilometres. The official opening date for the railway was 28th November , 2486 BE ( 1943 AD). The wooden bridge was later dismantled as it blocked the water way. During the war, the Bridge over the River Kwae was heavily bombarded  by the alled planes. The spans 4-6 were damaged and unable to operate. Finaly, Japan surrendered on 15th August  2488 BE ( 1945 AD ). After the war was over , the British government sold the railway and all railway related materials to the Thai government at the price 50 million bath. Later, the State Railway of Thailand repaired the bridge and replaced it with two iron spans and the 6 wooden parts were replaced by iron spans as well. The bridge has been in use up to the present time.

Saya berangkat dari Bangkok lewat stasiun kereta api Thonburi ( Stasiun selain Hua Lamphong di Bangkok) dengan menggunakan kereta api yang lewat stasiun River Kwai menuju Nam Tok.

Gambar 1. Stasiun Thonburi yang melayani jalur kereta api Bangkok - Nam Tok 
melewati stasiun River Kwai

Gambar 2. Jadwal Perjalanan Kereta Api yang diberangkatkan dari Thonburi.

Gambar 3. Gerbong "Ordinary Class" dan jenis Lok yang menarik rangkaian.

Gambar 4. Dengan biaya jauh dekat Bath 100,- saya menuju jembatan kereta api yang konon diangkut Jepang ke Siam dari salah satu jembatan kereta api di Jawa Tengah

Gambar 5. Menjelang sore saya dan anak saya turun di stasiun River Kwai
 
Gambar 6. Lokasi jembatan hanya beberapa puluh meter dari stasiun. Banyak sekali Turis dan Backpacker yang berkunjung. Namun dari ratusan pengagum jembatan, orang Indonesi-nya hanya saya dan anak saya. Sebagian besar orang Eropa dan Jepang. Bangsa saya kalau ke Thailand yang dikunjungi adalah Mall MBK dan sebangsanya, sekedar untuk berbelanja.

Gambar 7. Sebelum lewat, kereta api akan meneriakkan semboyan berkali-kali supaya para pengunjung keluar dari area jembatan. Kereta api akan berjalan pelan-pelan dengan kecepatan maksimum 10 Kilo meter per-jam. Umumnya penumpangnya sudah hampir kosong, sebagian besar sudah turun meskipun ada juga yang melanjutkan perjalanan ke Nam Tok untuk melihat "The Dead Railway", melihat sisa-sisa kekejaman Tentara Jepang saat membangin proyek jalan kereta api menuju Birma.

Gambar 8. Sebuah Monumen bom.

Gambar 9. Saya menemukan rel buatan Krupp tahun 1908. Namun masih kuat dilewati kereta api wisata kelas mahal "Orient Express"

Gambar 10. Masih disisakan dua jenis rel diatas jembatan. Rel yang dalam adalah rel ukuran kereta api Jepang (saat itu) dan yang luar adalah rel standar kereta api di Siam.

Gambar 11. Stasiun Kereta Api River Kwai dilihat dari arah jembatan

Gambar 12. Lok krativitas tentara Jepang...hehehehe.... sayang kurang jelas. Rodanya lebar, supaya bisa pindah ukuran rel Jepang ke rel Siam.

Gambar 13. Pulang ke Bangkok saya lewat stasiun Kanchanaburi dan dihalaman stasiun saya melihat ada lok uap aneh.

Gambar 14. Lok uap dua mesin, satu untuk maju dan satu untuk mundur.

Gambar 15. Kata orang Surabaya......namanya Odong-odong...

Gambar 16. Selamat tinggal Jembatan River Kwai, yang ternyata mbujuk, sebab yang dilewati jembatan kereta api itu bukan sungai Kwai. 
Sungai Kwai adalah sungai yang sejajar dengan rel kereta api dan mulai dari hulu sampai hilir tidak pernah ada rel kereta api yang melintas diatasnya.

 Gambar 17. Namun untuk menarik wisatawan, dibuat iklan dengan nunut 
ketenaran film "The bridge on the River Kwai" yang mengingatkan kita pada perang dunia. 
Lha celakanya menurut skenario yang saya baca, film itu sendiri dibuat di Sri Langka .....hehehehe

Sabtu, 26 Januari 2013

Hoi An Ancient Town



Saya membaca dari Wikitravel sebuah artikel sebagai berikut: “Hoi An, once known as Faifo, with more than 2,000 years history, was the principal port of the Cham Kingdom, which controlled the strategic spice trade with Indonesia from the 7th to the 10th century and was a major international port in the 16th and 17th centuries - and the foreign influences are discernible to this day…..” dan dari Wikipedia saya baca artikel:It is recognized as a World Heritage Site by UNESCO. Hoi An Ancient Town is an exceptionally well-preserved example of a South-East Asian trading port dating from the 15th to the 19th century”


Tertarik dengan kata Indonesia serta adanya informasi yang saya terima bahwa Hoi An merupakan sebuah kota kecil di Vietnam yang terbebas dari Perang Vietnam. Maka Hoi An merupakan sebuah kota kecil yang harus saya kunjungi saat saya berkelana menyusuri  Vietnam dari Saigon sampai Hanoi. Saya membayangkan bagaimana saat abad ke 7, Hoi An sudah merupakan sebuah bandar internasional. Pedagang rempah-rempah dari Indonesia sudah sampai disana, entah dagangan apa yang diperdagangkan saat itu. Termasuk juga didalam sejarah yang mengkisahkan tentang Putri Champa.

Cerita yang saya sampaikan ini adalah salah satu cara yang murah untuk menjangkau Hoi An, meskipun cara yang lain juga cukup banyak. Namun berjalan sambil mendekatkan diri dengan kehidupan penduduk setempat adalah moto saya yang harus saya pertahankan selama saya melakukan travelling.
Dengan menggunakan kereta api yang cukup baik, yaitu SE 2 yang melayani trayek Saigon – Hanoi saya berangkat dari Ga Saigon pukul 19.00. 

Tiket Kereta Api seharga 573.000,- Dong

Sebenarnya ada kereta rakyat yang harga tiketnya sangat murah, namun saya takut jatuh sakit karena dengan menggunakan SE 2 saja, kereta masuk Ga Da Nang sudah pukul 12.30 ke-esokan harinya.  Berarti selama 17,5 jam saya duduk di kereta api dan tanpa terasa telah menempuh jarak 935 Kilometer antara Saigon – Da Nang. Iklim di Vietnam berada di daerah batas iklim, Saigon memiliki iklim sama dengan iklim di Indonesia.  

.

Sedangkan Da Nang sudah mendekati daerah sub tropis, suhu udara sudah bisa turun dibawah 20 derajad Celcius dan hujan selalu turun meskipun rintik-rintik. Didepan stasiun, ada pertigaan jalan, ditikungan sebelah kanan jalan ada rumah makan, saya minta Pho panas semangkuk, lumayan sejak kemarin belum makan. 



Setelah badan hangat saya berjalan lurus dari stasiun setelah melewati warung tadi ada perempatan jalan besar, belok kekiri dan berjalan terus agak jauh lewat beberapa persimpangan sampai diseberang kanan jalan terpancang  tanda Bus Stop Da Nang – Hoi An. 



Menyeberang jalan harus hati-hati, pengendara sepeda motor sama dengan di Surabaya dan jangan lupa sisi jalan yang digunakan adalah sisi kanan, sebab kemudi mobil berada disisi kiri. 




Bus kota Da Nang – Hoi An muatannya campur aduk, mulai para Traveller sampai bakul dan ibu-ibu yang baru pulang belanja dari pasar. Wajah saya yang serupa dengan mereka membuat saya menjadi susah, karena selalu diajak bicara dalam bahasa lokal. Ibu kondektur terus menghujani saya dengan pertanyaan yang tidak mungkin saya jawab. Bagaimana bisa menjawab, lha yang ditanyakan saya tidak tahu. Namun akhirnya dia tertawa dan mengusir seorang anak muda dari tempat duduknya yang kemudian diberikan ke saya. Ini berkah dari usia saya yang sudah tua dan rambut yang putih tapi masih senang kluyuran. Sampai Hoi An hujan belum berhenti, di terminal bus tidak ada tempat untuk berteduh sementara warung-warung sudah tutup mungkin karena hari sudah sore. Dari terminal bus berjalan kearah jalan besar (arah datangnya bus) kemudian belok kiri menyusuri jalan yang sepi tapi lebar. Ada hotel besar dikanan jalan, saya lihat ini bukan hotel untuk kelas saya, kalau saya tidur disitu salah-salah habis uang saya. 


 
Jadi saya terus berjalan sehingga menemukan deretan beberapa hotel kecil yang taripnya USD 15,-, saya pilih salah satu yang menurut saya menarik.


 Petunjuk jalan ke lokasi Kota Lama



 Tepian sungai yang indah




 Kursi besi yang usianya sudah se-abad lebih



 Japanese Bridge yang menjadi ikon


 Hiasan Lampion Hari Raya Tet, indah mengias rumah-rumah penduduk 



 Pasar Di Hoi An 

 Mau pilih sepatu?


 atau beli sayur Pare, tomat....

 daun pandan, salam, kunyit, pisang..... 

 Barangkali mau reparasi jam tangan, jam tembok 


atau beli kurungan burung, jepretan tikus....juga ada. 
Tidak berbeda dengan pasar di Jombang, Mojokerto atau di Wonokromo