Jumat, 04 Januari 2013

Siem Reap – Angkor Wat – Bagian 2


Medio Nopember 2012 saya berjalan sendiri untuk memenuhi keinginan saya mengunjungi salah satu kemegahan masa lalu…….Angkor Wat di Siem Reap Kamboja.

Bagian 2.
Pagi hari saya berangkat ke perbatasan  naik ojek dari depan stasiun Aranyaprathet, THB 30,- dengan harapan sampai kota Siem Reap masih siang sehingga tidak kehilangan orientasi arah.
Jarak stasiun Aran dengan perbatasan sekitar 6 Km yang ditempuh dengan sepeda motor tidak sampai 15 menit.
Antrian di Imigrasi Thailand pagi hari sudah cukup panjang, namun kelihatannya untuk group wisata ada jalan khusus yang dipandu oleh guide lokal. Saya berusaha mencari teman sebangsa dan setanah air, karena sedari tadi saya cuma berbicara dengan Traveller dari Amerika, Australia, Belanda. Kelihatannya negara Kamboja masih belum menjadi tujuan para Traveller Indonesia, mereka masih berkutat di Bangkok, shoping kaos oblong dan patung gajah.
Setelah sedikit-demi sedikit beringsut maju kedepan, akhirnya sampai juga didepan petugas imigrasi yang langsung membubuhkan stempel dilembaran paspor saya.


















Dipintu kedatangan Thailand dari arah Kamboja terlihat dipenuhi oleh para pelintas batas yang kelihatannya orang-orang Kamboja yang mencari kerja di Thailand.


.















Mungkin pagi hari mereka ke Tailand dan sore hari kembali ke Kamboja. Sebagian besar adalah pekerja kasar, ada yang membawa gerobak yang bermuatan hasil bumi atau sekedar membawa pikulan kosong. Orang-orang ini kelihatannya sudah dikenal petugas dan tidak melewati pintu imigrasi.


Kontras dengan pemandangan yang saya lihat di imigrasi, saya berjalan menuju imigrasi Kamboja melewati bangunan-bangunan mewah yang ternyata hotel berbintang dan casino. Kelihatannya pemerintah Kamboja memanfaatkan perbatasan untuk mengeruk keuntungan dengan sarana-sarana perjudian. Untuk sekejap hilang dari pemandangan mata kekumuhan dan penderitaan, sejauh mata memandang yang terlihat hanya kemewahan.
Mulai bulan Oktober 2012 Indonesia sudah termasuk negara bebas visa untuk masuk ke Kamboja, maka saya melenggang melewati loket Visa On Arrival langsung menuju imigrasi Kamboja. Lumayan menghemat USD 20,- seandainya harus membayar VOA. Ruang imigrasi Kamboja jauh lebih sederhana dibanding dengan ruang imigrasi Thailand yang be-AC. Ada 3 loket sederhana namun dengan peralatan standar imigrasi melayani arus pendatang asing, sebuah kipas angin besar digunakan untuk menghembuskan udara panas yang kering. Petugas berseragam coklat khaki berada dipintu keluar untuk memeriksa keberadaan cap departure pada paspor pendatang yang telah meninggalkan loket. Tempat duduk petugaspun cukup kursi plastik yang warnanya sudah tidak baru lagi, dipadu dengan seragam yang agak lusuh serta rokok yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Beberapa pelintas batas perempuan menggoda petugas itu.



















Keluar dari ruang imigrasi, untuk para pendatang oleh pemerintah Kamboja disediakan shelter bus dengan shutle bus gratis untuk mengangkut pendatang dari perbatasan sampai ke terminal bus internasional Poipet.
Sepanjang jalan antara kantor imigrasi sampai terminal bus Poipet  terlihat banyak sekali toko, hotel dan penukaran mata uang asing serta pasar tradisional untuk ukuran Indonesia. Situasinya tidak berbeda dengan pasar dan pertokoan di kota-kota di Indonesia. Tidak terlalu lama naik bus ac yang tidak dingin, sama dengan bus kota patas Damri di Surabaya, saya sudah sampai ke terminal bus Poipet pukul 10.00 waktu Kamboja yang sama dengan waktu Indonesia Barat. Cuaca panas dan kering hampir sama dengan suhu dan cuaca di Jakarta.














Kalau dihitung, arus pendatang yang masuk ke terminal bus Poipet ini sangat banyak, mengingat shutle bus yang terus berputar tidak pernah berhenti. Saya berpikir, dengan volume orang yang seperti itu pasti frekuensi pemberangkatan bus dari terminal ini menuju ke kota-kota yang tertera di loket penjualan tiket  juga tinggi. Ternyata angan-angan saya itu hanya matematika kosong. Setiap shutle bus datang, penumpangnya diarahkan oleh orang yang menggunakan identitas yang tergantung dilehernya untuk menggunakan taxi atau mini bus. Sehingga praktis tidak ada penumpang bus kecuali saya.
Tarip bus dari Poipet ke Siem Reap USD 9,- sementara taxi per-orang USD 12,- dan harus di isi 4 orang.
Waktu tempuh yang dijanjikan untuk bus 3 jam, kalau pakai taxi 2 jam, entah realisasinya nanti.
Transfer penumpang dari shutle bus ke taxi cukup cepat, sehingga terminal bus hanya ramai sebentar kemudian kembali sepi penumpang. Sampai jam 13.00 tidak ada tanda-tanda bus datang, padahal saya sudah memegang tiket bus seharga USD 9,- 3 jam yang lalu. Saya bertanya ke loket penjual tiket dan bertanya jam berapa saya berangkat ke Siem Reap? Jawabannya cukup membuat saya kaget, yam 15.00 bus barus siap di terminal. Kelihatannya terminal bus ini hanya namanya saja, harusnya diganti menjadi Taxi terminal. Beberapa Traveller yang juga memilih angkutan bus seperti saya terlihat menggerutu dalam bahasa masing-masing. Saya yang tidak punya teman rasan-rasan ya akhirnya ikut rasan-rasan dengan seorang Traveller asal Amerika.
Keinginan saya untuk masuk Siem Reap siang hari pupus harap sudah. Padahal saya belum tahu Siem Reap itu rupanya bagaimana, termasuk saya belum punya hotel untuk menginap disana dan ternyata teman rasan-rasan saya itu juga belum punya hotel untuk bermalam.
Akhirnya jam 15.30 petugas terminal memanggil penumpang jurusan Siem Reap. Sudah ada panggilan begitu masih ada saja orang yang mengatakan bahwa labih baik pakai mini bus sebab belum tentu bus berangkat kalau penumpangnya tidak penuh. Ternyata dimana-mana calo itu ulahnya sama, dimana ya sekolah mereka itu, kok di Indonesia ya sama seperti itu.
Jam 16.10 dengan diberi tepuk tangan oleh beberapa Traveller yang kesal bus berangkat meninggalkan terminal Poipet.


Jalan bus tidak terlalu laju, lambat sekali, beberapa minibus dan taxi berjalan mendahului dengan cepat sementara itu sang surya dengan pasti mulai masuk keperaduannya di barat yang berakibat atmosphere menjadi temaram dan berangsur menjadi gelap. Dalam hati saya mengumpat entah pada siapa, ngerti begini kemarin malam turun dari kereta api saya langsung saja ke perbatasan seperti Traveller yang lain. Lumayan bisa berhemat THB 300,- yang saya keluarkan untuk sewa kamar hotel. Namun menjadi Traveller memang harus tabah dan tidak mudah patah semangat. Malas melihat jam. entah sampai dikota mana, yang jelas belum terlalu lama bus berjalan, bus yang saya tumpangi berhenti dan berbelok kesebuah warung makan. Dengan alasan memberi waktu kepenumpang untuk kekamar kecil, bus istirahat 30 menit. Saya jadi ingat kalau tiap hari Rabu harus ke Madiun naik bus, bus melaju cepat tidak berhenti sehingga Surabaya – Madiun bisa ditempuh dalam 3 jam.
Akhirnya setelah berhenti 30 menit bus berjalan lagi melanjutkan perjalanan, saya membuka peta dan memperkirakan pemberhentian bus di Siem Reap serta mencari lokasi hotel. Kira-kira dua jam setelah berhenti di warung tadi bus mulai masuk kota yang ditandai dengan mulai adanya gemerlap lampu mercury disepanjang jalan. Siem Reap saya datang. Tiba-tiba bus melambat kemudian masuk kedalam jalan kecil disebelah kanan jalan raya, sebuah lorong, melewati kebun pisang dan berhenti diantara banyak bus dengan cat sejenis. Tempat tersebut kalau saya amati bukan merupakan terminal bus, tapi lebih tepat sebagai tempat istirahat bus. Betul juga, ternyata tempat tersebut  adalah rumah bus yang saya tumpangi. Sementara itu informasi cepat yang saya dapat, kota Siem Reap sendiri yang ingin saya kunjungi  masih berjarak 6 Km lagi. Lhoooooo…….

Kamis, 03 Januari 2013

Siem Reap – Angkor Wat – Bagian 1


Bagian 1
Medio Nopember 2012 saya berjalan sendiri untuk memenuhi keinginan saya mengunjungi salah satu kemegahan masa lalu…….Angkor Wat di Siem Reap Kamboja.

Pesawat yang saya tumpangi sudah menjelang malam saat mendarat di Don Muang setelah 4 jam berada diudara, namun tepat waktu dan saat mendarat mungkin baru kali ini saya merasakan sebuah pendaratan yang sangat mulus. Antrian di imigrasi tidak terlampau panjang seperti kalau mendarat di Suvarnabhumi, di Don Muang ada loket khusus untuk pemegang paspor Asean.
Turun kelantai bawah menuju area kedatangan penumpang tidak terlampau mewah dan rumit, ada kesan cukup sederhana. Sangat banyak petunjuk dipasang dalam dua bahasa, Inggris dan Thai, untuk tempat pemesanan taxi, petunjuk menuju hotel berbintang yang berada didepan bandara dan petunjuk menuju setasiun kereta api Don Muang. Jalan menju hotel dan stasiun kereta api menjadi satu lorong jembatan peyeberangan yang melintas diatas jalan raya depan bandara. Untuk menuju jembatan penyeberangan ini disediakan sebuah lift yang akan mengantar penumpang ke lantai dua. Ujung jembatan ini akan berakhir  didepan hotel dan stasiun kereta api Don Muang. Yang jelas, lewat bandara Don Muang tidak akan tersesat diarena belantara bandara, tidak seperti saat pertama kali saya turun di bandara Suvarnabhumi.
Bagi Traveller yang ingin menggunakan jasa angkutan bus kota, keluar dari pintu bandara jalan kearah kanan sampai bertemu dengan jalan raya. Disebelah kiri jalan dapat dijumpai bangunan Bus Stop, tunggu saja bus kota dengan nomor yang sesuai dengan arah tujuan. Umpamanya untuk tujuan MBK Mall gunakan bus warna kuning dengan nomor 29, taripnya cukup murah, THB 20,-.
Bus nomor 29 ini lewat stasiun MRT Mochit dan terus menyusuri pemberhentian MRT sampai MBK Mall dan berakhir di stasiun kereta api Hua Lamphong Bangkok. Namun kalau hendak ke Hua Lamphong seperti saya kali ini, lebih murah dan lebih cepat menggunakan kereta api yang setiap saat lewat di stasiun Don Muang. Lewat jembatan penyeberangan turun mengikuti petunjuk arah Bangkok. Tidak perlu membeli tiket, karena Don Muang – Bangkok (Hua Lamphong) naik kereta api di gratiskan.
Setelah bermalam di Bangkok, saya menggunakan kereta api untuk perjalanan menuju Aranyaprathet. Bangkok – Aranyaprathet dilayani dua buah kereta api kelas 3 dengan tarip THB 48,-  untuk jarak tempuh 250 Kilometer. Kereta api pertama berangkat dari stasiun Hua Lamphong pukul 05.55 dan sampai di stasiun Aranyaprathet pukul 11.35. Kereta api kedua berangkat dari stasiun Hua Lamphong pukul 13.05  dan sampai di stasiun Aranyaprathet pukul 17.35.
Saya naik kereta api kedua  yang berangkat pukul 13.05, karena ingin tidur lelap sampai siang di Bangkok dan sorenya bermalam di Aranyaprathet sebelum esok pagi menuju perbatasan Kamboja.
Ordinary Train 279 trayek Bangkok – Aranyaprathet bukan kereta kelas mewah, namun kereta api kelas 3 dengan jendela besar yang terbuka lebar. Tarip THB 48,- sangat murah, dibanding dengan tarif bus yang berangkat dari Mochit atau Ekamai bisa 5 kali lipat. Pengamatan saya, hampir semua gerbong kereta memuat lebih banyak Traveller dari luar Thailand dibanding dengan penduduk lokal.
Kereta api ini sangat ramah tamah, jangankan stasiun besar, stasiun kecil yang hanya berupa bangunan kayu untuk sekedar bernaung dari terik matahari, kereta api ini dengan setia berhenti untuk menurunkan dan menaikkan penumpang.
Setelah berhenti dan berangkat berkali-kali, pukul 17.35 waktu setempat ( yang sama dengan WIB) masinis kereta api menekan rem kereta didepan stasiun Aranyaprathet. Sebuah perjalanan panjang dengan waktu berangkat tepat dan waktu kedatangan yang tepat juga. Tidak mengherankan kalau kereta api ini menjadi rujukkan bagi Traveller dan disarankan di situs-situs perjalanan.
Stasiun Aran sangat berbeda dengan stasiun Hua Lamphong yang besar, sebuah bangunan lama yang didominasi dengan bangunan kayu namun dirawat dengan baik.
Didepan stasiun berderet Tuk-tuk dan ojek sepeda motor yang menawarkan tujuan ke perbatasan Thai – Kamboja. Hampir semua Traveller menuju keperbatasan, saya memilih untuk menginap semalam di Aran, saya ingin menikmati pemandangan malam sebuah kota kecil yang jauh ditimur Bangkok.
Keluar stasiun kalau terus menuju pusat kota, kalau kekiri menuju perbatasan Thai - Kamboja, saya belok kanan menyusuri jalan lebar yang saat itu penerangan jalan sedang mati, sehingga jalan sangat gelap.
Sampai perempatan jalan, kalau terus akan masuk terminal bus Aranyaprathet, dikiri jalan terdapat toko Seven Eleven (seperti Alfa Mart atau Indomart) yang menjual berbagai makanan minuman dan saya berjalan belok kearah kanan. Kiri kanan jalan penuh dengan penjual makanan, bumbu khas makanan Thailand cukup menyengat masuk kedalam hidung saya. Diseberang jalan berdiri megah sebuah hotel besar, setelah menyeberangi rel kereta api yang tadi saya tumpangi situasi jalan menjadi berubah. Kiri kanan jalan berdiri toko-toko layaknya sebuah pusat pertokoan namun sudah tutup karena hari menjelang malam. Setelah melewati toko yang menjual ban traktor saya melihat ada bangunan hotel sederhana yang berada disebuah lembah kanan jalan.
Ternyata didalamnya ada beberapa hotel, saya memilih hotel yang memiliki halaman luas dengan bangunan kamar seperti sebuah motel. THB 300,- untuk sewa kamar semalam dengan fasilitas kipas angin dan siaran televisi multi chanel dari satelit. Seperti halnya dikota kecil lainnya di Thailand, maka bahasa tubuh lebih dominan dari pada menggunakan bahasa Inggris. Rata-rata pegawai hotel selalu berusaha ramah tetapi tidak mampu berbahasa Inggris dan hanya menguasai huruf Thai, apa lagi dengan wajah Asia saya, mereka selalu mengira saya adalah warga mereka. Orang Thailand hormat pada orang tua, maka saya tidak ingin lagi menyemir rambut saya menjadi hitam, saya selalu mendapat fasilitas saat berada dikendaraan umum. Lumayan.